Profesor Malik, sebutlah namanya demikian, benar-benar apes. Kekayaan rektor universitas swasta di Jakarta Barat itu amblas dalam waktu kurang dari sebulan. Padahal, harta yang hilang itu adalah hasil jerih payahnya selama 40 tahun. "Dua milyar rupiah lebih saya ditipu," ujarnya kesal, Rabu pekan lalu, di Polda Metro Jaya.
Penipuan itu bermula dari sebuah surat elektronik (e-mail) yang diterima Malik, 3 September lalu. Surat elektronik itu, kata Malik, dikirim oleh orang yang mengaku dari Bank of Africa yang berpusat di Burkina Faso, sebuah negara miskin di Afrika Barat.
Di dalam e-mail itu pula, menurut Malik, tertulis pesan bahwa Prince Shanka Moye telah diutus sebagai pembawa box family treasure alias peti harta karun. Berdasarkan scan exre barang berharga, peti itu ditaksir bernilai US$ 25 juta atau sekitar Rp 200 milyar.
Untuk meyakinkan Malik, e-mail itu dilampiri bukti scan exre dan surat jalan airway bill sebagai identitas Moye. Katanya, harta karun itu tersimpan di Bank of Africa sebagai milik keluarga pengusaha kaya raya asal Jerman.
Namun keluarga pemilik peti harta karun itu tewas dalam kecelakaan pesawat terbang di Landasan Udara Deegol, Prancis, tujuh tahun silam. Karena itu, peti tersebut dihibahkan pada Malik. Hebatnya, pengirim e-mail itu tahu betul jejak rekam Malik. Di sana antara lain disebut, Malik pernah bekerja di bagian keuangan PBB.
Sebenarnya, kata Malik, surat itu tidak menjelaskan alasan harta tersebut dihibahkan kepadanya. "Dia hanya mengatakan, kami dengar universitas Bapak antusias membangun kampus internasional," ujarnya.
Malik pun menyanggupi tawaran hibah itu berikut sederet persyaratannya. Pertama, ia mentransfer uang Rp 56,7 juta ke rekening BCA Cabang Mandala Raya, Jakarta Barat, atas nama Yuniwaty Veronik.
Selanjutnya, Moye memintanya bertemu secara langsung di Hotel Atlet Century Park, Jakarta. Undangan itu disertai permintaan agar Malik membawa uang tunai sebesar Rp 320 juta. Syarat itu pun dipenuhi Malik tanpa curiga. Dalam pertemuan kali pertama itu, Malik tidak lupa mengambil gambar lelaki berusia 32 tahun itu.
Esoknya, Jumat malam 7 September, lagi-lagi Moye mengontak Malik. Ia diminta bertemu di Club House, Hotel Mulia Senayan, Jakarta. Dalam pertemuan itu, Moye memperlihatkan tanda pengenal sebagai seorang diplomat.
Malam itu Malik sepakat untuk menambah lagi "uang pelicin" sebesar Rp 100 juta. Uang itu adalah syarat pencairan harta karun yang belum turun seluruhnya. Besoknya, uang itu diserahkan secara tunai kepada Moye di halaman parkir Hotel Atlet Century Park.
Malik benar-benar seperti sedang terbius. Buktinya, pada 13 September, ia mentransfer lagi uang sebesar Rp 1,3 milyar ke rekening Bank Lippo atas nama Diallo Mamadou Noumou.
Itu pun belum cukup. Sebagai syarat terakhir, guru besar ilmu ekonomi itu masih harus menyerahkan uang tunai sebesar Rp 1,7 milyar. Setelah dihitung-hitung, ternyata uang yang diserahkan Malik kepada Moye mencapai Rp 3,4 milyar!
Begitu menyadari besarnya uang yang sudah dibobol, barulah kepercayaan Malik kepada Moye mulai memudar. Apalagi, janji manis Moye yang hendak menghibahkan peti harta karun tak kunjung terbukti.
Ia pun lantas mengontak Perwakilan PBB untuk Asia Tenggara yang berkedudukan di Malaysia. "Ternyata nama Prince Shanka Moye tidak terdaftar sebagai diplomat," tutur Malik, lesu.
Karena itu, Malik melaporkan perbuatan Moye ke Polda Metro Jaya. Dengan mudah Satuan Resmob di bawah komando Ajun Komisaris Besar Reza Calvian Gumay meringkus Moye di seberang jalan Hotel Century Park. Ia pun digelandang ke rumah tahanan Ditreskrimum Polda Metro Jaya.
Kepada polisi, Moye yang kemudian diketahui bernama Anthony Nnadozie Nmelu membantah telah menipu Malik. Warga negara Nigeria ini malah menuding bahwa Malik sendiri yang meminta bantuannya untuk menggandakan uang.
Toh, polisi tetap menahan dan menuduhnya melanggar Pasal 378 atau 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Sekarang, menurut Gumay, tersangka sedang diperiksa lebih intensif.
Penipuan itu bermula dari sebuah surat elektronik (e-mail) yang diterima Malik, 3 September lalu. Surat elektronik itu, kata Malik, dikirim oleh orang yang mengaku dari Bank of Africa yang berpusat di Burkina Faso, sebuah negara miskin di Afrika Barat.
Di dalam e-mail itu pula, menurut Malik, tertulis pesan bahwa Prince Shanka Moye telah diutus sebagai pembawa box family treasure alias peti harta karun. Berdasarkan scan exre barang berharga, peti itu ditaksir bernilai US$ 25 juta atau sekitar Rp 200 milyar.
Untuk meyakinkan Malik, e-mail itu dilampiri bukti scan exre dan surat jalan airway bill sebagai identitas Moye. Katanya, harta karun itu tersimpan di Bank of Africa sebagai milik keluarga pengusaha kaya raya asal Jerman.
Namun keluarga pemilik peti harta karun itu tewas dalam kecelakaan pesawat terbang di Landasan Udara Deegol, Prancis, tujuh tahun silam. Karena itu, peti tersebut dihibahkan pada Malik. Hebatnya, pengirim e-mail itu tahu betul jejak rekam Malik. Di sana antara lain disebut, Malik pernah bekerja di bagian keuangan PBB.
Sebenarnya, kata Malik, surat itu tidak menjelaskan alasan harta tersebut dihibahkan kepadanya. "Dia hanya mengatakan, kami dengar universitas Bapak antusias membangun kampus internasional," ujarnya.
Malik pun menyanggupi tawaran hibah itu berikut sederet persyaratannya. Pertama, ia mentransfer uang Rp 56,7 juta ke rekening BCA Cabang Mandala Raya, Jakarta Barat, atas nama Yuniwaty Veronik.
Selanjutnya, Moye memintanya bertemu secara langsung di Hotel Atlet Century Park, Jakarta. Undangan itu disertai permintaan agar Malik membawa uang tunai sebesar Rp 320 juta. Syarat itu pun dipenuhi Malik tanpa curiga. Dalam pertemuan kali pertama itu, Malik tidak lupa mengambil gambar lelaki berusia 32 tahun itu.
Esoknya, Jumat malam 7 September, lagi-lagi Moye mengontak Malik. Ia diminta bertemu di Club House, Hotel Mulia Senayan, Jakarta. Dalam pertemuan itu, Moye memperlihatkan tanda pengenal sebagai seorang diplomat.
Malam itu Malik sepakat untuk menambah lagi "uang pelicin" sebesar Rp 100 juta. Uang itu adalah syarat pencairan harta karun yang belum turun seluruhnya. Besoknya, uang itu diserahkan secara tunai kepada Moye di halaman parkir Hotel Atlet Century Park.
Malik benar-benar seperti sedang terbius. Buktinya, pada 13 September, ia mentransfer lagi uang sebesar Rp 1,3 milyar ke rekening Bank Lippo atas nama Diallo Mamadou Noumou.
Itu pun belum cukup. Sebagai syarat terakhir, guru besar ilmu ekonomi itu masih harus menyerahkan uang tunai sebesar Rp 1,7 milyar. Setelah dihitung-hitung, ternyata uang yang diserahkan Malik kepada Moye mencapai Rp 3,4 milyar!
Begitu menyadari besarnya uang yang sudah dibobol, barulah kepercayaan Malik kepada Moye mulai memudar. Apalagi, janji manis Moye yang hendak menghibahkan peti harta karun tak kunjung terbukti.
Ia pun lantas mengontak Perwakilan PBB untuk Asia Tenggara yang berkedudukan di Malaysia. "Ternyata nama Prince Shanka Moye tidak terdaftar sebagai diplomat," tutur Malik, lesu.
Karena itu, Malik melaporkan perbuatan Moye ke Polda Metro Jaya. Dengan mudah Satuan Resmob di bawah komando Ajun Komisaris Besar Reza Calvian Gumay meringkus Moye di seberang jalan Hotel Century Park. Ia pun digelandang ke rumah tahanan Ditreskrimum Polda Metro Jaya.
Kepada polisi, Moye yang kemudian diketahui bernama Anthony Nnadozie Nmelu membantah telah menipu Malik. Warga negara Nigeria ini malah menuding bahwa Malik sendiri yang meminta bantuannya untuk menggandakan uang.
Toh, polisi tetap menahan dan menuduhnya melanggar Pasal 378 atau 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Sekarang, menurut Gumay, tersangka sedang diperiksa lebih intensif.
Rita Triana Budiarti dan Deni Muliya Barus
[Nasional, Gatra Nomor 47 Beredar 4 Oktober 2007]